Kondisi perempuan di indonesia masih memprihatinkan. Tingkat kekerasan di dalam rumah tangga masih tinggi, selain perlakuan yang tidak adil di masyarakat seperti kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, kesempatan peningkatan karir dan sebagainya yang lebih mementingkan laki-laki. Hal ini terjadi karena ketidaksetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan desa juga mengalami sangat banyak hambatan dan kendala yang harus dihadapi, khususnya apabila mereka sangat miskin. Dalam pandangan tradisional yang patriarkhis, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab pekerjaan rumah tangga. Di samping kegiatan reproduksi yang tidak mungkin ditinggalkan. Beban perempuan semakin besar ketika ia juga harus ikut menanggung beban ekonomi keluarga sehingga waktu yang ia miliki untuk beristirahat cukup sangat sedikit dan hal itu mengganggu kesehatannya.
Beban kegiatan yang begitu banyak menyebabkan perempuan tidak memiliki kesempatan berpartisipasi dalam ruang publik. Selain itu, partisipasi perempuan di ruang publik memang sangat dibatasi dan sedikit.
Bagi perempuan desa --yang melingkupi sekitar 60% dari perempuan di indonesia--, hal ini diperparah dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kemiskinan di dalam rumah tangga membuat perempuan tersubordinasi akibat ketidaksetaraan dalam hal:
(1) akses terhadap sumber produktif, seperti tanah, modal, hak kepemilikan, kredit serta pendidikan dan pelatihan;
(2) kontrol terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga;
(3) pembagian kerja yang tidak seimbang akibat adanya beban kerja reproduktif yang diemban perempuan;
(4) perbedaan konsumsi makanan, obat-obatan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan; (5) dan perbedaan tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan rumah tangga.
Di sektor publik tidak jauh berbeda, perempuan desa juga mengalami subordinasi dan marginalisasi akibat posisi tawar yang rendah. Sebagian besar dan hampir semua dari buruh pabrik adalah perempuan, khususnya yang berpendidikan rendah atau maksimal hanya tamat sltp, sementara hampir atau memang tidak ada mandor perempuan. Standar gaji untuk tingkat kerja yang sama antara perempuan dan laki-laki pun berbeda dengan alasan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Padahal kondisi ekonomi rumah tangga di indonesia, khususnya sejak dilanda krisis 1997 lalu, memaksa perempuan tidak sekedar sebagai pencari nafkah tambahan, tetapi bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Di samping itu, ada pembagian kerja menurut gender yang juga berperan dalam marginalisasi perempuan. Kerja-kerja yang dianggap bersifat perempuan seperti mengetik (sekretaris), menjahit, pembantu rumah tangga dan sebagainya dianggap lebih rendah levelnya daripada pekerjaan laki-laki dan mendapat perlakuan dan penghasilan yang berbeda pula. Sedangkan pekerjaan seperti mandor, manager, direktur dan sebagainya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sehingga perempuan tidak diberi akses untuk menempati posisi-posisi pekerjaan tersebut.
Jumat, 25 Juli 2008
Pembangunan Faktor Pemiskinan Perempuan Desa?
Label:
Pemberdayaan Perempuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar